Minggu, 22 November 2015

Asal Usul Desa Pedawang

Asal Usul Desa Pedawang


Desa Pedawang, berada di kecamatan Bae, Kudus. sebelah utara berbatasan dengan desa Purworejo, selatan berbatasan dengan desa Rendeng, bagian barat berbatasan dengan desa Bacin, sebelah timur berbatasan dengan desa Dersalam dan Gondangmanis.
Konon, dulu di daerah ini hiduplah Mbah Coklipo yang merupakan seorang guru sakti. Pada masa itu, murid –murid beliau sangat mengagumi kekuatannya. Di sana ada salah seorang murid yang bernama Dampo Awang, yang sangat ingin mewarisi seluruh ilmu Mbah Coklipo. Hal itu membuat murid-murid yang lainnya merasa iri.
Pada satu hari ketika Dampo Awang ingin berkunjung ke tempat Mbah Coklipo yang berada di seberang sungai (sekarang wilayah mudal), Dampo Awang berlayar dengan perahu. Di tengah perjalanan, Dampo Awang dihadang oleh salah satu santri dari Sunan Muria. Maka, terjadilah adu kesaktian antara keduanya. Murid Sunan Muria menyerang dengan ilmunya yang bisa membelah perahu sehingga perahu Dampo Awang hancur.
Namun murid Mbah Coklipo tersebut tidak tenggelam, dan masih bisa berlayar menggunakan dayung. Dampo Awang memiliki pedang sebagai senjata pamungkas, akhirnya terjadilah tarungan antara pedang dari Dampo Awang dan murid Sunan Muria. Duel tersebut terjadi di udara (awang-awang), sampai akhirnya pedang tersebut jatuh di Belik Doso. Dari kata Pedang dan Awang-Awang
 itulah daerah ini dikenal dengan nama “Pedawang”.
Menurut penuturan Mbah Besar, keturunan Mbah Coklipo dan masyarakat kuno pada masa lalu bekerja sebagai pembuat batu-bata. Namun mata pencaharian penduduk desa Pedawang sekarang ini telah beragam, sesuai dengan keadaan zaman.


Robert Wolter Monginsidi



 Robert Wolter Monginsidi

Robert Wolter Monginsidi 


Nama Lengkap : Robert Wolter Monginsidi
Profesi : -
Tempat Lahir : Malalayang, Manado
Tanggal Lahir : Sabtu, 14 Februari 1925
Zodiac : Aquarius
Warga Negara : Indonesia

BIOGRAFI
Wolter Monginsidi, pahlawan nasional pejuang kemerdekaan dari daerah Bantik Minanga (Malalayang). Monginsidi tumbuh dalam budaya Bantik yang begitu kental, dengan adat yang paling mendasar yaitu Hinggilr'idang, Hintalr'unang dan Hintakinang. Falsafah ini berarti berlaku kasih kepada sesama anggota keluarga, kepada sesama yang masih terikat dalam komunitas suku Bantik, dan bersifat dermawan kepada siapa pun terlepas dari suku maupun ikatan keluarga.
Falsafah itu yang membakar semangat Monginsidi untuk menentang penjajahan. Dengan keberanian dan kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk memimpin pertempuran melawan Belanda dan menjadi sosok yang disegani. Dalam suatu konferensi di tahun 1946, dibentuklah LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi) dengan Sekjen Wolter Monginsidi sebagai ketuanya.
Pada tanggal 28 Februari 1947 Monginsidi ditangkap tentara Belanda, namun berhasil melarikan diri bersama Abdullah Hadade, HM Yosep dan Lewang Daeng Matari setelah hampir 8 bulan mendekam di tahanan. Sepuluh hari kemudian Monginsidi kembali tertangkap dan kali ini Belanda memvonisnya dengan hukuman mati.
Perjuangan Monginsidi tidak berhenti di situ, tak lagi mampu berjuang secara fisik dalam pertempuran, Monginsidi menyuarakan semangat perjuangan melalui tulisan-tulisannya. Berikut ini beberapa tulisannya yang menginspirasi bahkan hingga saat ini.
"Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada dan juga dengan kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah tinggalkan kasih Tuhan mengatasi segala-galanya."
"Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih, tahu berdiri sendiri.. Belajarlah melipat kepahitan! Belajar mulai dari 6 tahun dan jadilah contoh mulai kecil sedia berkorban untuk orang lain."
"Berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan Yang Maha Esa."
Dalam Alkitab yang dipegangnya saat hukuman mati, terdapat tulisan "Setia Hingga Akhir di Dalam Keyakinan". Monginsidi meninggal dengan berani di hadapan regu tembak pada hari eksekusi tanggal 5 September 1949

PENDIDIKAN
  • Hollands Inlandsche School (HIS)
  • Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
  • Sekolah Pertanian Jepang di Tomohon
  • Sekolah Guru Bahasa Jepang.
KARIR
  • Guru bahasa Jepang di Malalayang Liwutung dan Luwuk Banggai
PENGHARGAAN
  • Bintang Gerilya (tahun 1958),
  • Bintang Maha Putera Kelas III (tahun 1960),
  • Ditetapkannya sebagai Pahlawan Nasional (1973)